Jualan di Pasar? Why Not~ (sisi lain pasar)

Ada beberapa yang bertanya dan mungkin banyak yang berbenak, kamu ndak malu lai jualan di pasar kayak gitu gak gengsi?

     Dulu mungkin aku akan malu, yang biasanya hanya liatin tiba-tiba turun tangan. Tapi sekarang dengan berbagai proses yang akhirnya menempatkan aku untuk turun langsung maka dengan yakinnya ku jawab 'Enggak' aku gak malu, aku makan dari situ, aku besar dari situ kenapa harus malu.

Ya sekarang pikiranku makin terbuka, toh  dari kecil aku sudah tidak asing dengan pasar, selalu ikut ibu ke pasar, jalan kaki sendiri kepasar cuman untuk jajan, atau beli jajan yang banyak lalu dipakai untuk jualan depan rumah dan temen-temen aku perkerjakan sebagai karyawan, ku gaji dengan uang modal, ya dulu itu jualan sebagai mainan bedanya pembelinya dan uangnya asli. Dulu juga pernah jualan es cendol depan rumah, minta bude di rumah buat bikin kan air gulanya, dan akhirnya para tetangga yang beli, disitu aku masih sd mungkin kelas 3 atau 4. Orangtua ku bangga liat aku yang seperti itu, darah pembisnisnya akan turun ke anaknya.

Pasar bukan sebagai momok yang mengerikan, mungkin bagi sebagian orang lebih memilih ke pasar modern dengan fasilitas dan keadaan yang rapi dan bersih. Sedangkan pasar tradisional terkenal dengan kumuh, becek, berantakan. Banyak temenku yang anti ke pasar, gak mau katanya jorok. Sedangkan aku justru cinta, kalau ke pasar yang utama ku cari adalah jajanannya. Muraaah banyak dan lengkap, dari jajanan tradisional sampai yang modern pun kadang dijual. Ke tempat ikan-ikan memang becek dan jorok, tapi lihat ikan-ikan yang dijejer kita bisa liat betapa banyaknya jenis ikan dari lautan ibu pertiwi. Kalau ingin melihat-lihat baju, sandal sepatu, aksesoris, dan perlengkapan lainnya pun ada, bisa berkeliling hanya sekedar untuk cuci mata. Sedangkan lihat jualan sayuran, buah, dan segala macam yang di tanam diperkebunan dan pertanian kalau di telisik kita bakal tau perjuangan mereka memanennya, mengimpor dari luar pulau, dan segala resiko yang bakal ditanggungnya. Bayangkan untuk memasok buah, sayur, bawang-bawangan  di Kalimantan memasoknya dari Sulawesi ataupun pulau jawa, perjalanan melalui darat, laut mesti di tempuh. Terkadang kalau diparkiran motor aku sering curi dengar obrolan para pedagang di sekitar mobil pickup nya menceritakan bagaimana susahnya memenuhi permintaan pasar yang ada di bontang.

Hanya dipasar tradisional kalian bisa menawar, hanya dipasar tradisional kalian bisa dapat harga murah. Bagi pedagang yang penting dagangan nya habis dan bisa menggantinya dengan stok baru. Dipasar gak ada sistem pendingin kayak di supermarket supaya dagangannya awet, mereka harus siap dengan segala kerugiannya. Tapi sering kami para penjual dipasar saling berbagi, ketika jualan tak habis dan masih layak atau kematangan kita akan membagikan nya secara percuma kepada pedagang lain atau menjadikan nya bonus untuk para pembeli. Kekeluargaan nya pun tentunya dapat, kenal dengan pedagang satu deret atau kompleks, kalau lagi ada urusan mendadak bisa minta tolong pedagang di depan untuk jualin kalau ada yang beli. Kalau ada salah satu pedagang yang punya hajatan atau acara, para pedagang yang lain bakal datang beramai-ramai untuk menghadirinya begitu pun kalau ada yang sakit pada menjenguk dan biasanya pada iuran jika dinilai penyakitnya lumayan parah dan menghabiskan banyak biaya berobat. Kita juga punya arisan antar pedagang, jadi secara gak langsung nabung hasil penjualan tiap minggu di arisan. Atau ada juga arisan suka rela yang dibuat sama pedagang perabotan setiap harinya 5 ribu, jika sudah terkumpul banyak bisa di tukar dengan barang yang dia jual ataupun bisa diuangkan.

Intinya aku tidak memaksa kalian untuk menyukai pasar, tapi aku ingin mengajak kalian untuk tau sisi lain pasar.

Comments